Senin, 02 Januari 2012

ASKEP ABLASIO RETINA

PENGERTIAN 
 Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen  retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002).

PENYEBAB

  1. Malformasi kongenital
  2. Kelainan metabolisme
  3. Penyakit vaskuler
  4. Inflamasi intraokuler
  5. Neoplasma
  6. Trauma
  7. Perubahan degeneratif dalam vitreus atau retina
           (C. Smelzer, Suzanne, 2002).

MANIFESTASI KLINIS

·         Riwayat melihat benda mengapung atau pendaran cahaya atau keduanya
·         Floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil/rumah laba-laba
·         Pasien akan melihat bayangan berkembang atau tirai bergerak dilapang pandang ketika retina benar-benar terlepas dari epitel berpigmen
·         Penurunan tajam pandangan sentral aau hilangnya pandangan sentral menunjjukkan bahwa adanya keterlibatan makula





PENATALAKSANAAN


z  Tirah baring dan aktivitas dibatasi
z  Bila kedua mata dibalut, perlu bantuan oranglain untuk mencegah cidera
z  Jika terdapat gelombang udara di dalam mata, posisi yang dianjurkan harus dipertahannkan sehingga gas mampu memberikan tamponade yang efektif pada robekan retina
z  Pasien tidak boleh terbaring terlentang
z  Dilatasi pupil harus dipertahankan untuk mempermudah pemeriksaan paska operasi
z  Cara Pengobatannya:
·         Prosedur laser
Untuk menangani ablasio retina eksudatif/serosa sehubungan dengan proses yang berhubungan dengan tumor atau inflamasi yang menimbulkan cairansubretina yang tanpa robekan retina.
Tujuannya untuk membentuk jaringan parut pada retina sehingga melekatkannya ke epitel berpigmen.
·         Pembedahan
Retinopati diabetika /trauma dengan perdarahan vitreus memerlukan pembedahan vitreus untuk mengurangi gaya tarik pada retina yang ditimbulkan.
Pelipatan (buckling) sklera merupakan prosedur bedah primer untuk melekatkan kembali retina.
·         Krioterapi transkleral
Dilakukan pada sekitar tiap robekan retina menghasilkan adhesi korioretina yang melipat robekan sehingga cairan vitreus tak mampu lagi memasuki rongga subretina. Sebuah/ beberapa silikon (pengunci) dijahitkan dan dilipatkan ke dalam skler, secara fisik akan mengindensi/melipat sklera, koroid, danlapisan fotosensitif ke epitel berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke jaringan pendukung dibawahnya, maka fungsi fisiologisnya ormalnya dapat dikembalikan.
                (C. Smelzer, Suzanne, 2002).

KOMPLIKASI

  1. Komplikasi awal setelah pembedahan
 Peningkatan TIO
 Glaukoma
 Infeksi
 Ablasio koroid
 Kegagalan pelekatan retina
 Ablasio retina berulang
  1. Komplikasi lanjut
 Infeksi
 Lepasnya bahan buckling melalui konjungtiva atau erosi melalui bola mata
 Vitreo retinpati proliveratif (jaringan parut yang mengenai retina)
 Diplopia
 Kesalahan refraksi
 astigmatisme












PATHWAYS
Inflamasi intraokuler/tumor                perub degeneratif dlm viterus
                                                                                                                     
                                                                      Konsentrasi as. Hidlorunat ber(-)
Peningkatan cairan eksudattif/sserosa                                                           
                                                                                                             Vitreus mjd makin cair

                                                                     Vitreus kolaps dan bengkak ke depan


 

                                                                             Tarikan retina


Resti Infeksi
 
 

                                                    Robekan retina               

                                             Sel-sel retina dan darah terlepas      
                                                             
                                             Retina terlepas dari epitel berpigmen

Penurunan tajam pandang sentral
                                Ditandai dengan:
-          floater dipersepsikan sbg titik-titik hitamkecil/rumah laba-laba
-          Bayangan berkembang/tirai bergerak dilapang pandang

Gangguan persepsi : penglihatan
 
                           








DAFTAR PUSTAKA

C. Smeltzer, Suzanne (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner & Suddart) . Edisi 8. Volume 3. EGC. jakarta

ASKEP THIPOID


  A. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

B. PENYEBAB

Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)

C. PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
PATHWAYS

Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid Hati                                        Limpa                                    Endotoksin
usus halus


 

Tukak                                    Hepatomegali                      Splenomegali                        Demam


 

Pendarahan dan Nyeri perabaan   
perforasi                                                                                Mual/tidak nafsu makan


 

                                                                                                Perubahan nutrisi


 

Resiko kurang volume cairan

                                                                                                                                                                                                (Suriadi & Rita Y, 2001)





D. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan  perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal)                                                                100%
- Kurang enak di perut                                                 ³50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot                          ³50%
- Berak-berak                                                                 £50%
- Muntah                                                                                         £50%
Gejala:
- Demam                                                                                         100%
- Nyeri tekan perut                                                                        75%
- Bronkitis                                                                                       75%
- Toksik                                                                                           >60%
- Letargik                                                                                        >60%
- Lidah tifus (“kotor”)                                                  40%
                                                                                                          (Sjamsuhidayat,1998)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.       Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2.       Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3.       Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
·       Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
·       Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
·       Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

F. TERAPI

1.         Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2.          Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3.         Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4.         Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5.         Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari

6.         Golongan Fluorokuinolon
·         Norfloksasin                       : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
·         Siprofloksasin                    : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
·         Ofloksasin                          : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
·         Pefloksasin                         : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
·         Fleroksasin                         : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
7.       Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001)

G. KOMPLIKASI

Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)



H. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DEMAM TIPOID

A.    PENGKAJIAN
1.       Riwayat keperawatan
2.       Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan kesadaran

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.       Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung
3.       Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh

C.    PERENCANAAN
1.       Mempertahankan suhu dalam batas normal
·       Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia
·       Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan
·       Berri minum yang cukup
·       Berikan kompres air biasa
·       Lakukan tepid sponge (seka)
·       Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat
·       Pemberian obat antipireksia
·       Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

2.       Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan
·       Menilai status nutrisi anak
·       Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
·       Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi
·       Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tetapi sering
·       Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama
·       Mempertahankan kebersihan mulut anak
·       Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit
·       Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak

3.       Mencegah kurangnya volume cairan
·       Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam
·       Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis,  ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir pecah-pecah
·       Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama
·       Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
·       Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge
·       Memberikan antibiotik sesuai program
(Suriadi & Rita Y, 2001)



I. DISCHARGE PLANNING
1.       Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2.       Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari  untuk mengelola makanan
3.       Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4.       Penderita memerlukan istirahat
5.       Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)
6.       Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
7.       Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8.       Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut
9.       Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi & Rita Y, 2001)


DAFTAR PUSTAKA

1.                Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
2.                Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
3.                Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
4.                Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
5.                Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
6.                Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
7.                Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
8.                Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika. Jakarta. 2002.
9.                Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
10.            Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.